Kamis, 04 Juli 2013

Kader Rakyat Melihat “Supremasi Hukum”



Kader Rakyat Melihat Supremasi Hukum
by. Randa Faturrahman Hakim

Tidak bisa di pungkiri penegakan hukum di Indonesia tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Secara konseptual dalam kajian penegakan hukum di nyatakan bahwa efektivitas penegakan hukum baru akan tercipta apabila lima pilar hukum telah terpenuhi dan dapat di tegakkan , yakni pertama instrument hukum yang baik, aparat penegak hukum yang professional, sarana dan prasana yang mendukung, kesadaran hukum masyarakat yang tinggi, dan pemerintahan yang baik. Sedangakan di negara kita ini Profesionalisme para penegak hukum masih banyak dipertanyakan berbagai kalangan.  Isu mafia peradilan mewarnai kehidupan hukum di Indonesia. Independensi penegak hukum mulai dipertanyakan, bahkan seluruh pelaksana-pelaksana yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pemberi keadilan diragukan. Persamaan hak dihadapan hukum  hanya sekedar pemanis dalam pelaksanaan hukum.
Hukum merupakan suatu sarana dimana di dalamnya terkandung nilai – nilai atau konsep – konsep tentang keadilan, kebenaran kemanfaatan social, dan sebagainya. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide – ide atau konsep – konsep serta usaha untuk mewujudkan ide –ide dari harapan masyarakat untuk menjadi kenyataan.
Indonesia merupakan negara hukum yang dijelaskan dalam UUD 1945, yaitu negara yang berdasar atas hukum. tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
Namun, pelaksanaan hukum di Indonesia masih terlihat berbeda dikalangan masyarakat luas, sekarang ini hukum di Indonesia sudah bisa dijual beli. Asalkan punya banyak uang maka semua kebebasan hukum bisa dilaksanakan, supremasi hukum  di Indonesia masih dipertanyakan. Masih terngiang ditelinga kita kasus mafia pajak terpidana Gayus Tambunan yang mengeruk uang terliunan dinegara kita. Kitika ia masih ditahan saja dia masih dapat menonton pertandingan sepak bola diluar negeri. Apakah ini yang dinamakan penegakan hukum yang ada di Indonesia?. Konyol memang dinegara yang berbasis pada hukum tetapi justru hukum dapat dijual belikan oleh kalangan yang memiliki uang. Seharusnya hukum itu harus bersifat netral dan berfungsi memberi kesejahteraan dan meningkatkan keamanan di Indonesia.
Contoh kasus carut – marutnya penegakan hukum di Indonesia antara lain adalah:
Kasus hukum nenek minah dinyatakan telah bersalah karena memetik buah kakao di area perkebunan PT. Rumpun Sari Antan.
Kita juga pernah mendengar adanya kasus pemulung yang dikriminalisasi telah memiliki ganja oleh sejumlah oknum polisi. Meskipun kemudian sejumlah oknum polisi tersebut dihukum setelah melalui persidangan, namun citra aparat penegak hukum di Indonesia sangat tercoreng karena tindakan sejumlah oknum tersebut.
kasus hukum Prita Mulyasari. Prita Mulyasari telah didakwa melakukan peencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Alam Sutera di Tangerang. Pengadilan Negeri Tangerang sempat memutus bebas Prita Mulyasari, namun oleh Mahkamah Agung Prita Mulyasari divonis hukuman selama enam bulan dengan masa percobaan selama satu tahun.
Ini lah beberapa contoh kasus penegakan hukum di Indonesia yang sekarang menjadi dilema ataupun kegalauan yang tidak henti – hentinya terjadi. Ada juga kasus yang sangat menggelitik masyarakat Indonesia yaitu
Putusan bersalah terhadap AAL (15) terkait kasus pencurian sandal yang dijatuhkan oleh hakim tunggal di Pengadilan Negeri Palu.
Dalam kasus AAL dinilai hanya untuk menyelamatkan kepolisian yang melakukan penyidikan dan kejaksaan yang menyusun dakwaan serta menuntut AAL.
Nah, inilah cerminan dari ketidakadilan terhadap penegakan hukum yang ada dinegara kita. Penegakan hukum di Indonesia bagaikan mata pisau yang runcing kebawah tetapi tumpul ke atas. Banyak kasus – kasus yang mengeruk kekayaan negara yang tak kunjung memberikan titik terang. Kasus bank Century yang hingga kini hanya menjadi tontonan yang memuakkan, kasus korupsi Hambalang yang memvonis Angie Lina Sondank dengan hukuman 4 tahun 8 bulan lebih rendah dari hukuman orang yang mencuri sepeda motor, kasus mafia pajak yang tidak terbongkar sama sekali, simulator SIM dan sampai kepada pencucian uang yang dilakukan oleh petinggi POLRI Djoko Susilo. Apa yang harus kita lakukan, sedangkan mereka yang memiliki kewenangan menegakkan hukum malah melanggar hukum. sungguh miris.
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.
Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.
Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya.
Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.
Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
Inilah gambaran tentang aplikasi dari penegakan hukum yang masih carut – marut dan mengundang dilemma yang mendalam kepada masyarakat Indonesia. Salah satu agenda reformasi yaitu supremasi hukum nampaknya tidak berjalan dengan semestinya. Hukum tidak menjadi penglima tertinggi di negara Indonesia. Hukum hanya berlaku bagi mereka kalangan bawahan dan sangat sukar berlaku bagi mereka pemegang kekuasaan, jabatan dan sebagainya.
Dan pada akhirnya rakyat miskin yang tidak mempunyai kekuatanlah yang menjadi korban dan semakin terzolimi. Untuk itu sebagai Kader Rakyat yang membela kepentingan rakyat tanpa diboncengi oleh kepentingan – kepentingan politik kita harus berani tampil membela rakyat dan melakukan pergerakan – pergerakan bersama rakyat.
Penutup tulisan ini, penulis mengutip kata – kata dari seorang Presiden Amerika pada saat ini yaitu Barack Obama. Beliau berkata:
“Tugas utama suatu Negara adalah melindungi warganegaranya. Kalau suatu
Negara tidak mampu melindungi warganegaranya, maka Negara itu adalah Negara yang GAGAL.”