Kader
Rakyat Melihat “Supremasi
Hukum”
by. Randa Faturrahman Hakim
Tidak bisa di pungkiri penegakan
hukum di Indonesia tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Secara
konseptual dalam kajian penegakan hukum di nyatakan bahwa efektivitas penegakan
hukum baru akan tercipta apabila lima pilar hukum telah terpenuhi dan dapat di
tegakkan , yakni pertama instrument hukum yang baik, aparat penegak hukum yang
professional, sarana dan prasana yang mendukung, kesadaran hukum masyarakat
yang tinggi, dan pemerintahan yang baik. Sedangakan di negara kita ini Profesionalisme para penegak hukum masih banyak
dipertanyakan berbagai kalangan. Isu
mafia peradilan mewarnai kehidupan hukum di Indonesia. Independensi penegak
hukum mulai dipertanyakan, bahkan seluruh pelaksana-pelaksana yang berkaitan
dengan penegakan hukum dan pemberi keadilan diragukan. Persamaan hak dihadapan
hukum hanya sekedar pemanis dalam
pelaksanaan hukum.
Hukum
merupakan suatu sarana dimana di dalamnya terkandung nilai – nilai atau konsep
– konsep tentang keadilan, kebenaran kemanfaatan social, dan sebagainya.
Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide – ide atau konsep –
konsep serta usaha untuk mewujudkan ide –ide dari harapan masyarakat untuk
menjadi kenyataan.
Indonesia
merupakan negara hukum yang dijelaskan dalam UUD 1945, yaitu negara yang
berdasar atas hukum. tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
Namun,
pelaksanaan hukum di Indonesia masih terlihat berbeda dikalangan masyarakat
luas, sekarang ini hukum di Indonesia sudah bisa dijual beli. Asalkan punya
banyak uang maka semua kebebasan hukum bisa dilaksanakan, supremasi hukum di Indonesia masih dipertanyakan. Masih
terngiang ditelinga kita kasus mafia pajak terpidana Gayus Tambunan yang
mengeruk uang terliunan dinegara kita. Kitika ia masih ditahan saja dia masih
dapat menonton pertandingan sepak bola diluar negeri. Apakah ini yang dinamakan
penegakan hukum yang ada di Indonesia?. Konyol memang dinegara yang berbasis
pada hukum tetapi justru hukum dapat dijual belikan oleh kalangan yang memiliki
uang. Seharusnya hukum itu harus bersifat netral dan berfungsi memberi
kesejahteraan dan meningkatkan keamanan di Indonesia.
Contoh
kasus carut – marutnya penegakan hukum di Indonesia antara lain adalah:
Kasus
hukum nenek minah dinyatakan telah bersalah karena memetik buah kakao di area
perkebunan PT. Rumpun Sari Antan.
Kita
juga pernah mendengar adanya kasus pemulung yang dikriminalisasi telah memiliki
ganja oleh sejumlah oknum polisi. Meskipun kemudian sejumlah oknum polisi tersebut
dihukum setelah melalui persidangan, namun citra aparat penegak hukum di
Indonesia sangat tercoreng karena tindakan sejumlah oknum tersebut.
kasus
hukum Prita Mulyasari. Prita Mulyasari telah didakwa melakukan peencemaran nama
baik terhadap Rumah Sakit Omni Alam Sutera di Tangerang. Pengadilan Negeri
Tangerang sempat memutus bebas Prita Mulyasari, namun oleh Mahkamah Agung Prita
Mulyasari divonis hukuman selama enam bulan dengan masa percobaan selama satu
tahun.
Ini
lah beberapa contoh kasus penegakan hukum di Indonesia yang sekarang menjadi
dilema ataupun kegalauan yang tidak henti – hentinya terjadi. Ada juga kasus
yang sangat menggelitik masyarakat Indonesia yaitu
Putusan bersalah terhadap AAL (15)
terkait kasus pencurian sandal yang dijatuhkan oleh hakim tunggal di Pengadilan
Negeri Palu.
Dalam kasus AAL
dinilai hanya untuk menyelamatkan kepolisian yang melakukan penyidikan dan
kejaksaan yang menyusun dakwaan serta menuntut AAL.
Nah, inilah
cerminan dari ketidakadilan terhadap penegakan hukum yang ada dinegara kita.
Penegakan hukum di Indonesia bagaikan mata pisau yang runcing kebawah tetapi
tumpul ke atas. Banyak kasus – kasus yang mengeruk kekayaan negara yang tak
kunjung memberikan titik terang. Kasus bank Century yang hingga kini hanya
menjadi tontonan yang memuakkan, kasus korupsi Hambalang yang memvonis Angie
Lina Sondank dengan hukuman 4 tahun 8 bulan lebih rendah dari hukuman orang
yang mencuri sepeda motor, kasus mafia pajak yang tidak terbongkar sama sekali,
simulator SIM dan sampai kepada pencucian uang yang dilakukan oleh petinggi
POLRI Djoko Susilo. Apa yang harus kita lakukan, sedangkan mereka yang memiliki
kewenangan menegakkan hukum malah melanggar hukum. sungguh miris.
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan
serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan
telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan
bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan
keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem
pendidikan hukum di Indonesia.
Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek
penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari
sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap
inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas
hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.
Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum
mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang
dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam
sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa
tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila
seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada
kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili
suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan
proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi
dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat
miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam
pelaksanaannya.
Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti
surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata.
Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian,
tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain
proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa
yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata
hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan
berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.
Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum
(hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan
berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang
terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan
dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun
memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak
hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena
praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan
pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah
fakultas hukum.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya
harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus
juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi
kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan
polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan
tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan
yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja
yang baik bagi aparat penegak hukum.
Inilah gambaran tentang aplikasi dari penegakan hukum yang
masih carut – marut dan mengundang dilemma yang mendalam kepada masyarakat
Indonesia. Salah satu agenda reformasi yaitu supremasi hukum nampaknya tidak
berjalan dengan semestinya. Hukum tidak menjadi penglima tertinggi di negara
Indonesia. Hukum hanya berlaku bagi mereka kalangan bawahan dan sangat sukar
berlaku bagi mereka pemegang kekuasaan, jabatan dan sebagainya.
Dan pada akhirnya rakyat miskin yang tidak mempunyai
kekuatanlah yang menjadi korban dan semakin terzolimi. Untuk itu sebagai Kader
Rakyat yang membela kepentingan rakyat tanpa diboncengi oleh kepentingan –
kepentingan politik kita harus berani tampil membela rakyat dan melakukan
pergerakan – pergerakan bersama rakyat.
Penutup tulisan ini, penulis mengutip kata – kata dari
seorang Presiden Amerika pada saat ini yaitu Barack Obama. Beliau berkata:
“Tugas
utama suatu Negara adalah melindungi warganegaranya. Kalau suatu
Negara tidak mampu melindungi
warganegaranya, maka Negara itu adalah Negara yang GAGAL.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar